Toko Nol Sampah. dok: Zero Waste Adventure |
DARI balik genting kaca, sinar matahari masuk dengan lembut menyinari Toko Nol Sampah siang itu. Pendar cahayanya menghangatkan ruangan kecil yang didominasi furnitur berwarna coklat itu, dimana Aku sedang asyik merapikan salah satu dari tiga rak yang ada di sana.
Tak lama seorang ibu paruh baya masuk ke dalam toko. Ku sambut dengan hangat, dan kami pun berbincang banyak hal sembari ia melihat-lihat isi rak dan memilih-milih produk yang ingin dibelinya. Sejumlah wadah kosong dikeluarkan dari dalam tasnya, yang kemudian aku isi dengan bumbu-bumbu dapur, dan camilan yang ia pilih dari rak.
Selesai ia berbelanja, tepat sebelum pulang ia tertarik pada satu toples berisi kue kering. Home made oat cookies yang satu kepingnya berukuran cukup besar. "eh aku mau coba beli kuenya satu dong." katanya, sembari mencari wadah kosong lain dari dalam tasnya.
Sayangnya, ia kehabisan wadah kosong yang dibawanya. Kemudian aku menawarkan wadah thinwall reuse yang ada di toko. Hal yang biasa aku tawarkan untuk pelanggan Toko Nol Sampah yang lupa membawa wadah, atau kekurangan wadah saat berbelanja.
"Nggak apa-apa, nggak usah. Aku pakai ini aja," jawabnya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya. Sapu tangan yang manis bercorak pink bunga-bunga.
"Ini sapu tangan punya ibuku. Usia (sapu tangannya) sudah lebih dari 20 tahun kira-kira," katanya tersenyum. Mataku berbinar mendengarnya. "Ya ampun, apik sekali. Sapu tangannya cantik," ujarku terkagum-kagum.
Kami pun jadi bercerita lebih panjang tentang hikayat sapu tangan ibu. Bagaimana sehelai sapu tangan yang selalu ia bawa-bawa itu menyimpan begitu banyak memori tentang sang ibunda. Namun, lebih dari sekadar merawat memori, merawat sapu tangan itu juga dilakukannya karena ia sudah meminimalisir penggunaan tisu, dan beralih menggunakan sapu tangan baik ketika di rumah maupun sedang bepergian.
Ia bercerita kalau banyak sekali fungsi sapu tangan yang bisa dimafaatkan. Mulai dari mengelap keringat, meyeka air mata, mengelap noda, bahkan hingga membungkus kue seperti yang dilakukannya siang itu di Toko Nol Sampah. Ternyata ketika sebuah sapu tangan dirawat denagan sepenuh hati, usia pakainya bisa berpuluh-puluh tahun. Betapa sehelai sapu tangan begitu kental akan pesan lestari.
Toko Nol Sampah. dok: Zero Waste Adventure |
Sustainability adalah Merawat
Menerapkan gaya hidup berkelanjutan (sustainability) memang tidak bisa lepas dari laku merawat. Di tengah arus gaya hidup yang serba konsumtif dan serba sekali pakai, merawat menjadi kunci penting untuk kelestarian lingkungan.
Merawat benda yang kita miliki sebaik mungkin, sehingga tidak cepat berakhir menjadi sampah. Bahkan merawat sampah yang kita hasilkan dengan cara dipilah dan diolah di tempat yang seharusnya (bank sampah, komposter, dll), sehingga tidak berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Merawat juga menjadi nilai utama yang disuarakan Toko Nol Sampah. Sebuah toko kelontong curah yang Aku mulai dirikan sejak September 2020. Toko yang menjual kebutuhan sehari-hari sseperti bumbu dapur dan kebutuhan dapur lainnya secara curah, fokus memberikan edukasi terutama bagi pelanggan yang datang untuk menerapkan gaya hidup berkelanjutan dengan sesederhana berbelanja membawa wadah sendiri.
Ya, di Toko Nol Sampah tidak menyediakan plastik sekali pakai atau lainnya melainkan pelanggan harus membawa sendiri wadah masing-masing untuk berbelanja. Wadah yang digunakan bisa apapun seperti toples kaca, toples plastik, wadah thiwall bekas saus, botol kaca, dan lainnya.
Jika lupa membawa wadah, atau wadah yang dibawa kurang, Toko Nol Sampah menyediakan jar-jar kaca dan wadah thinwall reuse yang dapat digunakan secara gratis. Wadah-wadah tersebut merupakan hasil donasi pelanggan lainnya yang memiliki wadah berlebih di rumah (yang sepertinya umum terjadi di rumah-rumah kita semua).
Menggunakan wadah yang sudah dimiliki di rumah, mendonasikan wadah berlebih, hingga mengembalikan wadah yang dipinjam, semuanya dipastikan membutuhkan laku merawat. Dengan merawat, keberlanjutan nilai-nilai barang bisa terjaga, dan ekosistem gaya hidup berkelanjutan dapat terbentuk dan semakin menguat memasuki tahun keempat Toko Nol Sampah beroperasi.
Ya, butuh waktu tiga tahun untuk perlahan membangun ekosistem sustainability dalam sebuah bisnis kecil nan idealis seperti Toko Nol Sampah. Aku ingat betul betapa di tahun-tahun pertama Toko Nol Sampah harus merangkak dengan modal mandiri yang minim.
Beruntung, saat itu Toko Nol Sampah mendapat pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI yang sangat membantu membangun usaha kecilku yang dimulai di tengah-tengah masa pandemi ini. Tidak berlebihan rasanya jika program KUR BRI ini aku sebut sebagai pahlawan UMKM karena memang BRI untuk Indonesia sangat membantu proses membangun bisnis di tahap awal.
Belum lagi digitalisasi BRI yang juga memudahkan transaksi di toko dengan penggunaan QRIS. Ini karena mayoritas pelanggan Toko Nol Sampah adalah generasi milenial dan generasi Z yang lebih sering melakukan pembayaran dengan QRIS.
Proses transaksi jadi lebih cepat, sehingga aku bisa lebih leluasa banyak berbincang dengan pelanggan yang berbelanja. 90 persen kegiatan di toko memang adalah mengobrol dan bercerita. Mengobrol menjadi bagian dari upayaku merawat hubungan dengan pelangganku yang meskipun masih sangat segmented namun semuanya adalah para pelaku gaya hidup berkelanjutan.
Lagi-lagi, laku merawat juga adalah langkah penting dalam membangun bisnis dalam konteks ekonomi sirkuler. Bukan cuma soal merawat aset barang dan produk yang dijual di toko. Lebih dari itu, merawat kepercayaan pelanggan terhadap nilai yang diperjuangkan Toko Nol Sampah untuk kelestarian lingkungan. Sama seperti ibu yang merawat sapu tangan milik ibundanya selama berpuluh-puluh tahun. Sehelai sapu tangan yang penuh kenangan, dan juga nilai-nilai kelestarian.***
No comments:
Post a Comment