Wednesday, June 20, 2018

Cara Mudah Membuat Kompos Daun Kering


Kompos daun kering


SAYA masih ingat, beberapa bulan lalu dirundung sedih tak terhingga. Waktu itu, sedang ada Mamah di rumah, berkunjung selama beberapa hari. Bukan, bukan sedih karena didatangi Mamah.

Tapi karena waktu pulang kerja, saya mendapati dua karung besar daun kering yang sedang saya kompos, ada di luar pagar rumah, bukan lagi di halaman. Mereka dibuang. Saya segera tahu, ini pasti dibuang Mamah.

"Meni Hareurin (Sempit-red) atuh da," katanya.



Setelah sedikit penjelasan tentang kompos daun kering yang lagi coba-coba saya buat itu, akhirnya saya boleh menyelamatkan satu karung saja. Yang satu lagi direlakan dibuang, karena saya menghargai Mamah. (Loh kenapa gak dijelasin aja sampe mau mengerti? untuk tahu alasannya, baca dulu sampe beres yaa).

Halaman rumah saya memang tidak besar. Karenanya, keberadaan dua karung daun kering tentu akan langsung mengganggu pandangan mata, dan membuat hati bertanya-tanya itu apa, untuk apa, kamu kemana, dengan siapa, semalam berbuat apa.

Satu karung daun kering yang berhasil saya amankan itu, kembali duduk manis di halaman. Tetap saya diamkan, seperti selama berbulan-bulan sebelumnya. Iya, daun kering itu dalam proses kompos berbulan-bulan, saya lupa berapa lamanya, tapi sekitar 4-5 bulanan.

Akhirnya kemarin, sepulang mudik Lebaran, 19 Juni 2018, saya bongkar isi karung daun keringnya. Isinya bikin saya bahagia, karena semua daun kering sudah hitam seperti tanah. Komposnya berhasil! Padahal waktu mengompos si daun-daun kering dalam karung itu, iseng coba-coba, bahkan sedikit gak niat.

Pekerjaan rumah yang bikin jengkel


Soal daun-daun kering, sebelumnya saya pernah cerita lewat tulisan saya tentang mencoba mengompos daun kering dengan blender bekas. Daun kering memang jadi satu masalah yang cukup serius di rumah dan kadang bikin jengkel, karena seriously banyaaaaaaak banget sekali pisan dari pohon mahoni di depan rumah. Pohon ini ada di sepanjang jalan depan rumah, dan menyapu daun setiap hari jadi pekerjaan rumah semua warga yang ada di sekitar.

Apalagi, kalau pohon-pohon mahoni lagi meranggas. Yasalaaam.. boro-boro serasa musim gugur di Paris.

Jadi, selain sampah dapur, warga-warga di daerah tempat tinggal saya juga punya sampah daun yang bisa berkarung-karung. Yang menarik, petugas yang ngambil sampah warga setiap beberapa hari sekali juga enggan angkut sampah daun. Dia hanya akan mengambil sampah dapur, dan meninggalkan karung berisi daun kering.

Alasannya, karena dia mengaku bingung soalnya di Tempat Pembuangan Sampah Sementara, sampah daun gak diterima. (CATAT YA!)

Karena itu, para warga jadi punya jurus andalan masing-masing untuk urusan membuang sampah daun. Ada yang membuang karung sampah daun sendiri ke TPS Sementara dengan diam-diam di malam hari, ada juga yang buang entah kemana tapi dicurigai sih mereka buang ke sungai yang ada dekat kelurahan. Yang sadis, ada yang rutin membakar daun-daun kering itu depan rumahnya.

Saya sendiri, berusaha sebaik mungkin untuk mengompos daun kering yang bisa ditampung. Tapi memang mayoritas masih terpaksa dibuang, apalagi kalau lagi masa meranggasnya si pohon. Ya ampun gak kuat banyaknya itu daun. Cara membuangnya, saya masukan dalam kantong plastik atau apapun yang kebetulan ada dengan ukuran sedang. Kalau dibuang tidak dalam karung, petugas sampah gak keberatan untuk mengangkut.

Makanya, ketika melihat hasil kompos daun kering satu karung itu berhasil, saya merasa semangat untuk serius mengompos daun-daun kering depan rumah. Meski memang harus meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga ini, karena kuantitas jumlahnya lumayan banyak, dan memikirkan masalah tempat.

Kompos diayak

Cara mengompos daun kering


Kompos daun kering yang saya hasilkan, hanya melalui proses alakadarnya berbekal informasi dari sana-sini di internet. Tapi setidaknya, tahapan pentingnya saya rangkum seperti ini:

1. Kumpulkan daun-daun kering, lalu dicacah. Pencacahan bisa dilakukan manual, dengan bantuan pisau, gunting, blender bekas, atau disobek-sobek pakai tangan. Kompos daun kering pertama saya ini, cuma disobek-sobek pakai tangan, jadi sangat kasar dan potongannya besar-besar, tidak kecil-kecil. Semakin kecil cacahannya, akan semakin baik.

2. Sediakan wadah untuk mengompos. Disini saya pakai karung plastik bekas yang ukuran besar (lebih besar dari karung beras).

3. Masukan daun kering yang sudah dicacah, diselingi dengan sampah organik. Jadi dimasukkannya per layer atau lapisan gitu.

Lapisan pertama, daun-daun kering dan potongan-potongan ranting. Lapisan kedua sampah organik, lapisan ketiga daun-daun kering lagi. Begitu seterusnya. Proses ini bisa berlangsung beberapa lama, sampai karung penuh (Sisakan sedikit ruang, agar karung bisa diikat).

Masukan juga nasi basi, atau air rendaman nasi basi. Ini berfungsi seperti MOL, atau cairan pengomposan yang mempercepat proses pembusukan. Saya biasanya pakai air bekas merendam rice cooker. Wadah ricecooker kan suka ada remahan nasi/kerak-keraknya itu, nah setelah direndam, airnya siramin ke daun kering yang sedang dikompos. Jangan terlalu banyak dan sering ya, karena kelembabannya harus dijaga, jangan sampai terlalu basah.

Saya gak pakai cairan-cairan pengompos, dan hanya memanfaatkan sampah dapur yang saya hasilkan di rumah.

4. Perhatikan jumlah dan komposisi daun kering dan sampah organiknya. Jumlah daun kering harus lebih banyak dari pada sampah organik. Ini supaya proses pembusukan sampah organik gak mengundang binatang seperti tikus, dan lain-lain. Apalagi kalau kamu pakai wadah karung plastik bekas beras, seperti yang saya lakukan.

Selain itu, sampah organik yang dimasukkan jangan sampah sisa masakan (makanan yang sudah dimasak ya). Karena makanan yang sudah dimasak kurang bagus untuk nutrisi kompos, dan dia juga mengundang hama. Jadi sampah organiknya ya sisa potongan sayur, buah, dll, pokonya bukan yang sudah dimasak. Kalau yang sudah dimasak ya habiskan, jangan ada sisa hehe.

5. Kalau karung sudah penuh, tutup atau ikat karung rapat-rapat, diamkan beberapa bulan. Sekitar tiga sampai enam bulan.

6. Setelah didiamkan berbulan-bulan, daun kering akan jadi kompos. Tandanya adalah berwarna hitam, teksturnya seperti tanah (ngeprul/hancur), baunya juga mirip-mirip tanah.

Kalau sudah begini, ayak kompos dengan saringan. Saya pakai tutup keranjang takakura, karena berongga, dan karena gak punya saringan hahaha. Kompos disaring untuk dipisahkan dari butiran yang masih kasar, atau potongan daun yang masih belum hancur.

Karena proses pencacahan daun kering yang saya lakukan sebelumnya asal-asalan, jadi potongan daun yang tersaringnya cukup banyak. Potongan kasar yang sudah terpisah dari kompos halusnya, bisa dihancurkan lagi untuk dikompos selanjutnya bareng daun-daun kering baru.

Sementara, kompos halus siap digunakan untuk berkebun.

Pendekatan halus

Setelah panen kompos daun kering, saya tidak lupa mengirim fotonya ke Mamah. Dia senang sekali melihat kompos cantik berwarna hitam.

"Itu teh yang dulu daun kering?" katanya.

Iya, saya bilang. Lalu saya bercerita kalau ingin lebih serius mengompos daun keringnya supaya cacahannya lebih halus dan hasilnya juga lebih baik lagi. Mamah juga semangat, ingin minta komposnya untuk tanaman di rumah. Katanya, nanti kalau hasilnya lebih banyak lagi, bisa untuk bagi-bagi juga ke tetangga.

Saya tidak membahas bagaimana dulu karung sampah daun kering itu nyaris berakhir di tempat pembuangan sampah. Atau juga membahas bagaimana nasib satu karung sampah daun kering lainnya yang dulu direlakan dibuang. Karena tentu kalau membahas itu, Mamah akan merasa tak enak hati.

Tapi, dengan menunjukkan hasil kompos, adalah pendekatan halus yang membuat Ibu saya paham apa yang ingin saya lakukan. Dulu mungkin dia tidak paham, atau tidak mau paham. Dan untuk membuat orang lain memahami kita, tidak harus bicara panjang lebar seakan menggurui, dan merasa paling benar. Tapi memberikan contoh nyata, adalah cara edukasi yang paling bijak dan efektif.

Show them how, instead of teach them why.
-zero waste adventure-

No comments:

Post a Comment