vegetarian |
"Apakah mungkin vegan diterapkan di Indonesia? Apakah mungkin masyarakat Indonesia menerapkan gaya hidup vegan? karena mengonsumsi daging atau dairy product itu menyumbang sampah dan limbah yang sangat besar, selain juga masalah animal cruel,"
Kira-kira demikian pertanyaan seorang mahasiswa kepada saya, dalam sebuah kesempatan sesi sharing di Universitas Padjadjaran maret lalu. Sebelum menjawab, saya balik bertanya. Kamu vegetarian? Iya, jawabnya.
Lalu saat itu saya menjawab, gaya hidup vegetarian adalah gaya hidup yang positif. Bahkan menerapkan gaya hidup zero waste mendekatkan saya dengan lebih banyak mengonsumsi sayuran.
Tapi mendorong orang Indonesia untuk jadi vegetarian bukan sebuah solusi. Apalagi mengingat mayoritas warga Indonesia adalah muslim, yang meyakini bahwa mengonsumsi daging hewan ternak itu bukan sesuatu yang haram.
Melihat permasalahan sampah tidak bisa hanya dari satu sudut pandang saja. Misalnya sudut pandang vegetarian. Benar bahwa memang industri peternakan menyimpan banyak permasalahan lingkungan, tapi bukan berarti perkebunan tidak memiliki permasalahan yang sama.
Jadi menurut saya, zero waste bukan soal kamu harus vegetarian atau tidak, tapi memang sistem industri makanan yang ada di kita yang perlu dibenahi. Baik sistem peternakan yang harus didorong mengolah limbah kotorannya, atau pun industri perkebunan yang harus didorong mengurangi penggunaan pestisida, atau tidak merambah lahan-lahan resapan air.
Hanya berselang beberapa hari kemudian setelah acara diskusi tersebut, di media sosial Instagram tiba-tiba juga ramai mencuat soal isu itu. Vegetarian garis keras bermunculan dan ramai berpendapat bahwa untuk menerapkan gaya hidup zero waste yang ideal, maka seharusnya kamu juga vegetarian.
Isu ini ramai dibicarakan, setelah salah satu influencer gaya hidup Zero Waste yang juga penulis buku Zero Waste Home, Bea Johnson mengunggah sebuah foto di akun instagramnya. Bea mengunggah foto daging ayam yang ia beli dalam kotak makan stainless steel miliknya.
Bagi saya, tidak aneh melihat unggahan foto tersebut karena dari dulu saya tahu Bea Johnson memang bukan seorang vegetarian. Namun cukup menarik melihat banyak sekali komentar pedas yang menuding apa yang diunggahnya tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai pelaku gaya hidup zero waste. Bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai kemunduran dalam mempromosikan pelestarian lingkungan.
Dari sekian banyak komentar yang ada (dan hampir semuanya adalah netizen luar negeri atau negara-negara barat), saya menyimpulkan bahwa mereka yang berkomentar pedas adalah para pelaku gaya hidup vegetarian garis keras, tapi bukan pelaku gaya hidup zero waste.
Satu benang merah yang saya baca adalah, mereka berpandangan non-vegetarian adalah orang-orang yang telah memperlakukan binatang dengan keji karena membunuh dan memakannya.
Pandangan orang-orang barat ini mengingatkan saya pada mahasiswa yang bertanya pada saya kala itu. Ini juga mengingatkan saya pada sejumlah teman asal Australia yang bercerita bahwa gaya hidup vegetarian saat ini sedang sangat tren di negara kanguru.
Tentu saja saya tidak setuju dengan pandangan ini, seperti yang bisa teman-teman baca di beberapa paragraf awal artikel ini. Tapi saya penasaran apakah para pelaku zero waste lainnya juga berpandangan sama?
Seperti yang saya duga, pegiat gaya hidup zero waste yang vegetarian tidak beranggapan bahwa gaya hidup meminimalisir sampah harus digeneralisasi bahwa pelakunya wajib mengubah pola hidupnya menjadi vegetarian. Sudut pandang pelaku gaya hidup zero waste yang vegetarian, berbeda dengan mereka yang vegetarian tapi tidak zero waste.
Melalui instagram, saya bertanya pada Andrea, penggagas komunitas Be Zero. Dia tidak setuju bahwa untuk ber-zero waste, pelakunya juga wajib vegetarian. "Saya tidak suka melabeli zero waste harus vegetarian. Meskipun saya secara pribadi menerapkan keduanya. Melihat sudut pandang zero waste, bukan lantas men-cap gaya hidup lainnya sebagai wrong and bad," tutur Andrea, menjawab pertanyaan saya.
Dia berpendapat, zero waste bukan hanya sebatas masalah harus makan sayur dibandingkan daging. Namun lebih luas, zero waste menitik beratkan pada masalah circular economy yang seharusnya diterapkan di kehidupan masyarakat dunia.
Selain itu, masih menurut Andrea, menerapkan zero waste juga tentunya harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Tidak semua wilayah di dunia memiliki akses yang sama terhadap konsumsi sayuran dan buah-buahan. Atau sebaliknya, melimpahnya sayuran dan buah-buahan juga kadang dibarengi dengan sayuran berkemasan plastik.
"Orang-orang di Alaskan misalnya, tentu mereka jarang makan sayuran. Selain itu, menanam tanaman juga ada permasalahan tersendiri, jadi semua tidak lepas dari masalah selama belum menerapkan circular economy," katanya.
Andrea menilai, sebaiknya orang berhenti melabeli diri sebagai pelaku gaya hidup tertentu yang merasa lebih baik dari yang tidak melakukannya. "Saya suka makanan plant-based. Tapi saya tidak suka label. Label hanya untuk memantu kita untuk berkomunikasi. Yang jelas, saya melakukan apa yang saya pikir itu baik untuk lingkungan," tuturnya.
Ini juga dibenarkan beberapa pegiat gaya hidup zero waste lainnya, yang kebetulan juga vegetarian. Mereka berpendapat bahwa vegetarian memang memudahkan mereka untuk lebih mengurangi produksi sampah. Namun tidak berarti vegetarian juga lantas membuat mereka sempurna menerapkan zero waste, karena pada kenyataannya zero waste bukanlah kesempurnaan tidak menghasilkan sampah, melainkan terus berproses untuk mereduksi sebanyak mungkin potensi sampah yang dihasilkan.
Andrea. Sumber Foto |
Alasan kesehatan
Memahami sudut pandang sebuah gaya hidup, apa pun itu, sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah apalagi jika itu adalah pandangan dari luar budaya timur. Bijak memahami prinsip sebuah gaya hidup dari berbagai persepsi sangat penting bagi kita untuk menjalankannya tanpa salah arah.
Lain barat, lain timur. Setelah merangkum sudut pandang vegetarian dari perspektif orang-orang barat, saya jadi penasaran dengan perspektif orang-orang kita, Indonesia, yang vegetarian. Apakah juga berpikir kalau non-vegetarian animal cruel? atau ada alasan lain di balik itu.
Memang Cuma beberapa orang yang berhasil saya tanya soal ini. Jumlahnya mungkin belum bisa menggambarkan secara utuh pandangan vegetarian Indonesia, tapi dari beberapa yang berhasil saya wawancara, mereka menjawab vegetarian karena alasan kesehatan.
Tommy (40 tahun), bahkan mengaku tidak punya alasan khusus menjalankan gaya hidup vegetarian selama 18 tahun terakhir. "Kurang doyan aja sama daging. Trus harganya mahal," katanya sedikit bercanda, tapi serius.
Selama 18 tahun itu, dia mengaku gak punya keinginan untuk mencoba makan daging. Tapi setelah 18 tahun, baru-baru ini dia menyudahi gaya hidup vegetariannya dan mulai menerima mengonsumsi daging. Lagi-lagi, baginya tidak ada alasan khusus kenapa ia memilih mengakhiri gaya hidup vegetariannya yang sudah belasan tahun itu.
Beda lagi halnya dengan Dian (21 tahun). Mahasiswi semester 6 di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta itu mengaku sudah Vegetarian sejak 2015 akhir. Saat ini, dia bahkan sedang mencoba melangkah lebih jauh untuk menjadi Vegan.
Alasannya beralih gaya hidup menjadi vegetarian, karena termotivasi sang ayah yang menderita penyakit kolesterol serius. "Entah kenapa, solusinya waktu itu ngajakin papah untuk jadi vegetarian aja yuk. Dan karena aku yang ngajak papah untuk vegetarian, jadi aku kaya punya tanggung jawab untuk juga vegetarian," katanya.
Adapun sekarang dia mulai belajar vegan, Dian mengaku hal itu untuk lebih menantang dirinya. "Jadi vegetarian makanan sehari-harinya gak susah. Dan malahan lebih murah. Sayur, tempe, lotek, pecel, banyak banget opsi. Kalau pun gak, ya opsinya masak sendiri," katanya.
Menurut dia, menjadi vegetarian adalah pilihan, terutama disesuaikan dengan kondisi tubuh masing-masing yang tentunya terlahir berbeda. Secara pribadi, dia kurang setuju dengan pandangan vegetarian ekstrim yang menilai mengonsumsi daging hewan ternak adalah bentuk kekerasan terhadap binatang
"Sesuaikan aja dengan porsinya. Menurut aku sih respect each other aja. Menjadi vegetarian itu kan gaya hidup, bukan kepercayaan atau aliran, ajaran tertentu yang harus dipaksakan ke orang lain," kata Dian.
Bijak konsumsi makanan
Satu jawaban lainnya yang saya suka adalah dari salah satu pelaku gaya hidup sehat eating clean, Inge Tumiwa Bachrens. Pada kesempatan bedah buku 'Eating Clean', saya bertanya pada bu Inge mengenai pendapatnya terkait sudut pandang vegetarian.
Hal ini menurut saya menarik, karena sebagai pelaku eating clean, bu Inge juga mayoritas mengonsumi sayuran dan buah-buahan.
Menurut dia, vegetarian adalah gaya hidup yang baik asal dijalankan dengan benar. "Karena banyak vegetarian yang makan buah/sayur impor. Padahal sayur/buah impor kan produk pertanian rekayasa semua," ujar bu Inge.
Perlu diketahui, prinsip eating clean mendorong untuk mengonsumsi makanan yang benar-benar alami, bukan makanan proses atau makanan palsu. Karena makanan proses bahan dasarnya menggunakan produ pangan dari bibit yang sudah dimodifikasi secara genetik. Selain itu juga tinggi kandungan gula, sodium,MSG, lemak tidak sehat, dan berbagai zat aditif dan kimialainnya.
"Eating clean gak memaksa untuk menjalankan pola hidup tertentu. Tapi memang 70 persen makanan yang dikonsumsi dalam eating clean adalah sayuran. 30 persen sisanya daging, ikan, dan lainnya. Jadi memang eating clean dan vegetarian itu sangat dekat," katanya.
Dia mengakui, banyak vegetarian ekstrim yang memilih tidak mengonsumsi daging karena alasan animal cruel. Menurut dia, pandangan dalam memilih makanan harus benar-benar menyeluruh dalam memahami konteks kebutuhan nutrisi dan gizi yang diperlukan tubuh.
"Yang vegetarian biasanya karena alasan lingkungan, agama, atau kesehatan. Saya kira pelajari benar-benar bahan-bahan makanan yang dikonsumi, dan alasan untuk melakukannya," kata Bu Inge yang sudah melahirkan empat buku dengan isu eating clean itu.
Memahami gaya hidup apa pun itu, terutama yang berkembang di budaya barat, harus dipahami secara menyeluruh dan dibarengi dengan referensi berbagai sudut pandang. Terutama dari sudut pandang budaya timur, dan juga budaya negeri sendiri.
Sama seperti halnya menerapkan zero waste, prinsip gaya hidup zero waste lah yang justru perlu dipahami dengan kembali ke akar budaya tradisional Indonesia. Bukan sekedar mengikuti tren zero waste yang begitu masif di negara barat dari segi peralatan komersilnya saja.
Zero waste is not a trend, it's a return to culture (Zero Waste Adventure).***
No comments:
Post a Comment