Saturday, June 27, 2020

Film Dokumenter Diam dan Dengarkan, Energi Kolektif Itu Nyata

FOTO: Anatman Pictures

"Akhirnya, ada jeda. Untuk dunia berhenti dan merenung,"

Suara khas Christine Hakim terdengar syahdu, sekaligus menggetarkan hati, saat menarasikan kata-kata itu mengiringi potongan demi potongan gambar dalam chapter satu film dokumenter Diam dan Dengarkan.

"Kiamat Tak Terhindarkan", begitu judul chapter pembuka film berdurasi 90 menit ini.  Judul chapter pembuka yang menurut saya tepat untuk mengawali film ini dengan tamparan keras mengenai kondisi kehancuran yang diciptakan dan dirasakan sendiri oleh kita, manusia.

Film karya Anatman Pictures ini terdiri dari total 6 chapter, dengan masing-masing judul berbeda yang saling berkorelasi. Setiap chapter diisi dengan narator berbeda dan juga berbagai narasumber.

Chapter 1: Kiamat yang Tak Terhindarkan (Christine Hakim), Chapter 2: Mens Sana in Corpore Sano (Dennis Adishwara), Chapter 3: Kerajaan Plastik (Arifin Putra), Chapter 4: Air Sumber (gaya) Hidup (Eva Celia), Chapter 5: Kehutanan yang Maha Esa (Nadine Alexandra), Chapter 6: Samudra Cinta (Andien Aisyah).

Film dokumenter ini sebenarnya menyajikan informasi dan fakta yang tidak jauh berbeda dengan film dokumenter-dokumenter lingkungan lainnya. Malahan, sebagian informasi-informasinya sangat umum yang mungkin sudah sering kita baca atau lihat di berbagai media sosial maupun media mainstream. Ini bahkan diakui sendiri oleh sang sutradara, Mahatma Putra.

"Di film ini tidak ada yang orisinal. Tidak ada (informasi) yang spesial. Film ini (berisi) pengetahuan-pengetahuan populer yang sudah ada, yang kemudian kita rangkum dan disesuaikan dengan audiens Indonesia," kata Mahatma Putra. 

Footage yang digunakan pada film ini juga merupakan footage dengan lisensi creative commons, karena menurut Mahatma, pihaknya tidak mengklaim copyright dari film yang merupakan Serial Heal the World tersebut.

Tapi yang membuatnya menjadi spesial, justru memang pada keapikan meracik narasi, informasi fakta, dan potongan gambar. Visualisasi ditambah narasi yang membius membuat penonton benar-benar bisa terdiam dan mendengarkan, dan (mungkin) lebih jauh lagi tergerak hatinya untuk melakukan perubahan.

Pembabakan isu menjadi 6 chapter yang berbeda namun saling berkaitan, juga membuat film ini lebih mudah dipahami. Terutama bagi penonton awam yang baru mulai tertarik dengan isu lingkungan. 

Hal spesial lainnya menurut saya dalam film ini adalah kehadiran berbagai narasumber dari latar belakang yang bervariasi. Mereka menambah kaya sudut pandang yang disuguhkan dalam film ini. Mulai dari pegiat lingkungan, praktisi kesehatan holistik, plant-based nutitionist, designer, dokter, praktisi meditasi dan yoga, enterpreneur, hinga praktisi pendidikan.

Sudut pandang yang beragam ini semakin menguatkan pemikiran bahwa berbagai gaya hidup sehat memang saling berkorelasi. Kesehatan fisik dan emosional kita, menjelma kelestarian bagi lingkungan.

Energi Kolektif


Pesan besar yang disuarakan film dokumenter Diam dan Dengarkan adalah tentang kekuatan energi kolektif. Bagaimana perubahan besar dapat terjadi hanya dengan aksi-aksi kecil yang dilakukan secara kolektif. Pandemi virus corona adalah buktinya.

Dengan cepat, pandemi membuat warga dunia mengerem aktivitas secara bersamaan dan dampak positifnya terhadap lingkungan begitu nyata. Meski dampak ini bisa jadi hanya bersifat sementara, jika setelah pandemi manusia kembali membuat kerusakan yang lebih masif lagi. 

Fim ini membawa pesan mengenai bagaimana pandemi virus corona sebaiknya menjadi titik balik bagi warga dunia untuk mulai melakukan perubahan-perubahan kecil dari dirinya, demi kelestarian alam dan keberlangsungan bumi. Kenapa perlu menyelamatkan bumi? karena kita adalah bumi itu sendiri.

Mengutip dari narasi chapter penutup film Diam dan Dengarkan, "kesembuhan bumi adalah nyata jika setiap orang mau ambil bagian di setiap kehidupan, setiap hari."***

No comments:

Post a Comment