Monday, March 5, 2018

Zero Waste Mengolaborasi Berbagai Gaya Hidup Sehat



PERNAH suatu hari, seorang teman memperlihatkan sebuah video tentang gaya hidup minimalis. "Kamu coba minimalis juga gak pit,?" tanyanya. Saya jawab, ya, saya lagi mulai mencoba ke arah sana. Salah satunya dengan tidak membeli barang-barang lagi, apalagi barang baru. Buy Nothing.

Di hari lain, seorang teman lainnya memperlihatkan artikel tentang betapa positifnya gaya hidup vegetarian. "Kalau kamu vegetarian gak pit? kan zero waste," tanyanya. Saya jawab, Vegetarian sih enggak, tapi memang jadi lebih banyak makan sayur. Tapi saya masih mengkonsumsi daging, terutama kalau makan di luar, dan satu hal yang tidak bisa saya tolak adalah kenikmatan rendang padang. Secara pribadi, saya tidak merasa perlu mengharamkan makan daging, kecuali yang diharamkan dalam Islam.

Lain harinya lagi, seorang teman berbagi pengalamannya tentang anti-MSG. Di rumah, ia tidak pernah memasak memakai penyedap rasa, micin, dan lainnya yag mengandung MSG.

"MSG gak baik untuk kesehatan. Anakku ku jauhin dari MSG. Kamu zero waste juga akhirnya jadi anti MSG ya," katanya. Saya jawab, dibilang anti banget kayaknya naif ya. Karena kalau saya jajan makan di luar, tentu ada MSG di dalamnya. Tapi kalau di rumah, iya, saya selalu pake bumbu hanya gula, garam, merica. Lainnya ya bawang-bawangan dan rempah-rempah.

Secara prinsip, zero waste memang gaya hidup yang menekankan pada minimalisasi produksi sampah. Tapi ternyata dengan prinsip tersebut, pada akhirnya membuat gaya hidup ini berkorelasi dan bahkan mengolaborasi berbagai gaya hidup sehat lainnya. Menurut saya, setidaknya berkaitan dengan beberapa gaya hidup ini:


1. Gaya Hidup Sehat Tanpa MSG


MSG, singkatan dari monosodium glutamat. Sederhanannya, MSG adalah garam natrium yang memberikan rasa gurih pada makanan. Kalau berselancar di internet, banyak perdebatan tentang dampak negatif MSG pada kesehatan. Saya sih gak mau bahas masalah perdebatannya, tapi yang pasti (untuk yang percaya), terlalu banyak MSG tidak bagus untuk kesehatan.

Saya termasuk yang percaya kalau terlalu banyak MSG tidak bagus untuk kesehatan. Sederhananya, sesuatu yang berlebihan kan gak baik ya. Selain itu, banyak pengalaman di keluarga yang sudah mengalami berbagai penyakit dan penyebabnya karena faktor makanan yang dikonsumsi. Salah satu faktor pemicunya, adalah mengonsumsi MSG berkepanjangan.

Tanpa secara langsung menghindari MSG, menerapkan gaya hidup zero waste justru mendorong kita untuk menjauhi si perasa makanan ini. Sederhana sih, karena rata-rata MSG dalam bentuk bumbu instan untuk makanan dijual dalam kemasan plastik sachet. Memang ada ukuran bumbu MSG yang lebih besar, seperti halnya kemasan garam.

Tapi saya pribadi, setelah menerapkan gaya hidup zero waste, saya memilih hanya menggunakan bumbu garam, merica, dan gula untuk masak sendiri di rumah. Tiga bumbu utama ini sudah cukup untuk membuat rasa makanan mantap, dengan diperkuat rempah-rempah lainnya. Karena prinsip zero waste, semakin minim, sederhana, dan natural bumbu yang digunakan maka semakin sedikit juga sampah yang dihasilkan.


2. Gaya Hidup Vegetarian


Prinsip zero waste untuk menghindari makanan-makanan berkemasan akhirnya membuat pilihan kita akan jatuh pada sayuran dan buah-buahan.

Daging seperti daging ayam atau sapi juga sebenarnya bisa ditemukan dijual tanpa kemasan. Tapi umumnya, mereka tetap akan dikemas plastik saat ditimbang (itu budaya di Indonesia yang udah otomatis  bakal terjadi).

Butuh effort yang lebih untuk mendapatkan daging tanpa kemasan plastik. Misalnya, tidak membeli daging di supermarket, melainkan di pasar tradisional. Selain itu juga bawa wadah untuk membungkus daging setelah ditimbang oleh penjualnya.

Saya pribadi sangat jarang belanja daging untuk masak di rumah. Pertama karena memang gak bisa masak daging (hahaha). Paling banter, daging dimasak bersama sop sayuran supaya gampang tinggal brus, brus, brus, masuk panci.

Selain itu, alasan kedua adalah karena beberapa tahun terakhir ini sudah mulai merasa bosan mengonsumsi daging. Kalaupun ingin lauk, lebih prefer makan ikan daripada daging. Saya tidak tahu apa perasaan bosan ini karena efek gaya hidup zero waste atau bukan. Tapi itulah yang saya rasakan saat ini.

Tanpa niat untuk menjadi seorang vegetarian, menerapkan gaya hidup zero waste bisa mendorong kita lebih dekat ke arah sana.

Perbekalan sayur dan buah, dalam kantong jaring.

3. Diet Air Putih


Air putih bagus untuk kesehatan. Bahkan banyak orang melakukan diet air putih untuk menurunkan berat badan. Ada juga yang melakukan detoksifikasi dengan air putih, untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh.

Dalam buku Zero Waste Adventure, saya menceritakan kalau dulu saya orang yang kurang suka minum air putih. Lebih demen macam minuman-minuman segar dalam kemasan botol plastik yang biasanya terdiri dari jenis teh, kopi, jus, dan minuman dalam kemasan lainnya.

Menerapkan gaya hidup zero waste, mau tidak mau akhirnya mendekatkan dengan gaya hidup diet air putih. Tanpa bermaksud diet untuk menurunkan berat badan ataupun detox racun, namun karena dipicu untuk menghindari minuman berkemasan.

Mendekatkan gaya hidup zero waste, membuat minum air putih jadi kebiasaan yang tidak membebani.

Refill air di dispenser yang ada di lobby hotel.


4. Gaya Hidup Minimalis


Selain dari makanan yang kita konsumsi, sampah juga kita hasilkan dari barang-barang yang kita beli. Makin banyak barang yang kita beli, makin banyak juga pontensi sampah yang kita hasilkan.

Gaya hidup minimalis, saya pikir juga adalah tahap selanjutnya dari zero waste. Karena setelah kita terbiasa mengurangi sampah dari konsumsi makanan, maka secara otomatis mengurangi barang-barang yang kita miliki adalah hal yang ingin kita lakukan. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Sejak 2016 lalu, saya telah memutuskan untuk tidak membeli barang-barang baru lagi. Tidak lagi membeli benda-benda gak penting, seperti pernak pernik yang tidak pernah diperlukan.

Tentu niat 'buy nothing' ini gak berjalan sesempurna yang dibayangkan, karena pada perjalanannya saya masih tergiur untuk membeli barang. 2017 lalu saya membeli sepasang sepatu, dan sweater karena alasan yang manusiawi. kepengen aja.

Tapi setidaknya, dengan memasang target untuk tidak membeli barang-barang tidak penting, penambahan barang yang saya punya juga sangat minim.

Saat ini, saya masih terus berusaha untuk mengurangi barang-barang yang sudah saya punya, tapi tidak pernah saya pakai.

Di rumah, saya tidak mau beli lemari pakaian yang besar, meskipun kami (mungkin) membutuhkannya. Justru yang ingin saya lakukan adalah menyingkirkan pakaian yang sudah berlebihan dan menyesuaikannya dengan lemari pakaian yang sudah kami punya di rumah.

Beberapa barang juga sudah mulai saya sumbangkan, seperti sejumlah buku, dan stationary yang ternyata saya punya banyak sekali. Kaos-kaos yang saya miliki juga sudah mulai dipisahkan, karena banyak yang tidak pernah saya pakai.

Yang masih sulit adalah menyingkirkan jaket yang begitu banyak, karena mayoritas semuanya saya suka. Kalau orang sunda bilang, piparagieun (simpan, kalau-kalau nanti diperlukan). Tapi ya itulah budaya kita, menyimpan banyak barang yang sepertinya akan kita pakai suatu saat, tapi sebenarnya pada akhirnya tidak kita gunakan.

Butuh proses yang panjang memang untuk benar-benar bisa hidup minimalis dengan sedikit barang yang dimiliki. Tapi saya tidak terburu-buru untuk bisa segera menjadi pelaku gaya hidup minimalism, karena sebenarnya saya tidak menargetkan untuk menjadi seornag minimalism, namun gaya hidup zero waste pada akhirnya menuntun saya untuk menuju ke arah sana.

5. Gaya Hidup Lambat (Slow Life Movement)


Apa itu Slow Life Movement. Mengutip dari wikipedia, Slow Living adalah gaya hidup dengan menerapkan pendekatan lambat pada aspek kehidupan sehari-hari.

Kata SLOW juga memiliki arti Sustainable, Local, Organic, dan Whole (tidak diproses).

Yang saya pahami, slow life movement menjadi masif karena tren hidup yang serba cepat saat ini. Orang-orang seakan terus dikejar waktu dan pada akhirnya berdampak pada konsumsi makanan yang juga instan, komunikasi cepat, dan teknologi yang canggih.

Dampaknya gaya hidup yang serba cepat ini membuat kerusakan lingkungan, permasalahan sampah, hingga masalah sosial.



Menerapkan gaya hidup zero waste, membuat kita akan bersinggungan dengan Slow Life Movement. Kenapa? karena ketika kita meniatkan diri untuk mengurangi produksi sampah, akhirnya hal tersebut akan mendorong kita melakukan banyak hal yang tidak instan.

Misalnya ketika berbelanja. Kita harus memikirkan tempat belanja yang memungkinkan kita berbelanja makanan tanpa kemasan. Kemudian tidak lupa menyiapkan daftar belanjaan agar belanja sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Tidak hanya itu, kita juga harus siapkan kebutuhan berbelanja seperti kantong kain dan beberapa wadah makanan.

Tidak selesai sampai disana, belanjaan yang kita beli kemudian kita proses sendiri untuk dimasak. Selesai masak, masih ada sisa memasak (sampah organik) yang harus dikompos.

Proses tersebut harus dilakukan tentunya di tengah kesibukan kita lainnya. Hal ini akhirnya mendorong kita untuk membuat prioritas mana yang harus dilakukan, dan tidak dilakukan demi efektifitas waktu.

Sebagai jurnalis, saya bukan orang yang memiliki banyak waktu luang. Setiap hari pekerjaan menuntut saya bekerja dengan deadline, juga waktu bekerja yang tanpa office hour. Di tengah ketidakpastian waktu bekerja, saya harus pintar-pintar mengatur ritme untuk bisa mengerjakan semuanya, termasuk soal memenuhi kebutuhan saya dengan gaya hidup zero waste.

Akhirnya, secara bertahap saya pun terdorong untuk menerapkan slow life movement. Sebenarnya saya pribadi dengan slow life movement lebih pada mengurangi mobilitas.

Misalnya, ketika pekerjaan saya menumpuk, saya tidak akan menambah agenda atau kesibukan lain di luar pekerjaan. Jadi, mobilitas saya hanya fokus pada pekerjaan.

Dalam satu hari, saya tidak mau memiliki temu janji dengan banyak orang di banyak tempat berbeda. Begitupun waktu bermain atau nangkring dengan teman, saya tidak akan memiliki beberapa janji nongkrong di hari yang sama dengan beberapa teman berbeda. Ini supaya kualitas pertemuan lebih terasa, dan juga saya tidak terburu-buru untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.

Kalaupun dalam satu hari ada agenda yang berbenturan, saya memilih membatalkan yang sekiranya bisa dijadwalkan ulang.

Dampak positif mengurangi mobilitas dan membuat hidup lebih slow, adalah kita tidak perlu banyak berinteraksi dengan jalanan yang macet.

Di luar negeri, bahkan slow life movement sudah mulai banyak diterapkan oleh perusahaan. Dimana karyawannya diperkenankan bekerja di luar kantor, sehingga mengurangi mobilitas namun meningkatkan kualitas pekerjaan.

6. Gaya Hidup Bersepeda


Masih berkaitan dengan mobilitas, gaya hidup zero waste juga mendorong untuk penggunaan kendaraan yang ramah lingkungan.

Untuk kota-kota besar di negara maju, public transport tentunya menjadi pilihan yang menyenangkan untuk berkendara. Tapi di Indonesia, tentu itu justru membuat galau karena sistemnya yang masih belum baik. Apalagi kalau di Bandung.

Tapi setidaknya kita masih punya pilihan untuk kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Bersepeda saat mobilitas pekerjaan rendah, jalan kaki ketika pergi ke tempat-tempat dekat, naik angkot, atau misalnya pesan taksi online kalau rame-rame bareng temen.

Mobilitas kita karena pekerjaan atau hal lainnya memang masih tinggi, tapi setidaknya mulai kurangi penggunaan kendaraan bermotor di waktu-waktu tertentu. Dan menerapkan gaya hidup Zero Waste mendorong tumbuhnya motivasi untuk melakukan hal itu.***

No comments:

Post a Comment