Sore di jembatan yang menghubungkan Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur itu ramai dengan sejumlah anak laki-laki yang hanya berbalut celana pendek. Tubuh dengan warna kulitnya yang coklat matang, terlihat basah dan sudah sedikit kedinginan.
Mereka berdiri di tepi jembatan, bergantian melompat ke sungai Citarum. Arus sungai sore itu sedang deras-derasnya, tapi dasar akamsi (anak kampung sini), mereka dengan mudahnya berenang menepi memotong arus. Begitu terus mereka lakukan berulang-ulang, hingga senja datang.
Itu pemandangan yang dulu sering saya lihat jika tengah menyambangi Sungai Citarum, Kampung Cisameng, Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Anak-anak desa disana memang tidak diragukan kehandalannya dalam berenang.
Tapi pemandangan yang sedikit berbeda saya lihat Sabtu 22 Oktober 2016 lalu. Sore itu di sungai citarum, anak-anak tidak lagi hanya berbalut celana pendek dan melompat dari jembatan. Kini mereka juga memakai pelampung dan helm, lalu bergantian berlatih mendayung di atas perahu. Iya mereka latihan arung jeram.
Perahu adalah milik sekolah mereka yang lokasinya memang tidak jauh dari Sungai Citarum, yang merupakan salah satu lokasi untuk olahraga rafting terbaik di Indonesia. Arung jeram sepertinya jadi kegiatan ekstrakulikuler yang dikembangkan di sekolah itu. Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, isn't it?
Bagi saya, ini pemandangan yang sangat manis. Melihat bagaimana masyarakat mau mengembangkan diri dengan melihat potensi lokal yang ada di sekitar mereka.
Bagaimana tidak, anak-anak di Kampung Cisameng punya bakat untuk jadi atlet berbagai olahraga air. Dengan dikasih fasilitas oleh sekolah untuk mengembangkan kemampuan di bidang rafting, mereka jadi punya kesempatan untuk bisa berkembang jadi atlet. Atau mungkin pelatih, dan profesi lainnya di bidang yang kaitannya sama olahraga air atau lebih jauh jadi tokoh yang bergerak di bidang pelestarian sungai.
Menurut Greenpeace, Citarum adalah salah satu sungai terkotor di dunia. Tau sendiri kan kondisi citarum? Salah satu ancaman terbesar bagi Citarum, selain sampah, adalah pencemaran limbah kimia industri. Industri tekstil jadi salah satu yang berkontribusi besar pada perubahan kualitas air sungai Citarum.
Tapi geliat di Kampung Cisameng, memperlihatkan bahwa Citarum masih punya setitik harapan. Sejak era 90-an lokasi ini jadi salah satu lokasi rafting terbaik di Indonesia, karena punya tingkat kesulitan jeram di grade 3 sampe 4. Bukan cuma untuk latihan dan wisata rafting. CItarum juga jadi salah satu tempat favorit untuk kejuaraan tingkat nasional dan internasional.
Saya ingat Tahun 2013 meliput kegiatan Riverboarding World Championship (RWC) pertama, dimana Citarum jadi tuan rumahnya. Bukan hanya soal kompetisi riverboarding, namun permasalahan lingkungan, dan pentingnya pelestarian alam menjadi isu yang diangkat dan jadi salah satu latar belakang pemilihan sungai citarum untuk event tersebut.
Dengan menjadi salah satu lokasi untuk olahraga rafting, Sungai Citarum di kawasan Kampung Cisameng kondisinya cukup terjaga. Karena tidak hanya pendatang yang melakukan aktifitas rafting, namun masyarakatnya juga ikut merasa membutuhkan sungai, sekaligus mendapatkan keuntungan dari sungai.
Yang ingin saya coba bilang, rafting di Sungai Citarum bukan cuma kegiatan olahraga ekstrim semata. Tapi jadi bagian dari upaya pelestarian sungai. Begitupun semua kegiatan kepetualangan, prinsipnya sebenarnya lebih dari sekedar kegiatan hobi atau berpetualang. Lebih dari itu, adalah alat yang efektif untuk mengkapanyekan kelestarian lingkungan. Adventure is a Statement.
Pastinya pengarungan saya lakukan di citarum pagi itu bareng tujuh teman lainnya bebas dari sampah. Tidak menghasilkan sampah saat berarung jeram sangat mudah. Kebutuhan konsumsi untuk arung jeram adalah air, snack, dan makan siang.
Untuk air, masing-masing kami membawa botol minum sendiri. Mengisi ulang botol minum tidak sulit, karena ada dispenser yang disediakan di basecamp Kapinis. Selain itu, untuk makan siang kami juga memesan menu parasmanan ke warga lokal.
Untuk snack, kami belanja buah-buahan di pasar Rajamandala, yang terlewati kendaraan sebelum masuk ke kawasan Kampung Cisameng. Buah pir, pepaya, mangga, hingga buah naga. Semuanya untuk camilan di sela pengarungan pendek maupun panjang.
Kulit buah bisa dikompos, atau di kubur. Tapi di kampung Cisameng, masih terdapat banyak kolam ikan (balong) warga. Di desa, sisa makanan biasa dijadikan pakan untuk ikan. Balong memang teknologi lokal yang keren untuk mengompos sisa makanan.
Sebelum makan siang, kami juga menutup pengarungan dengan mereguk air kelapa muda yang diambil dari pohon milik penduduk sekitar. Dan cara terbaik minum air kelapa muda adalah langsung meminumnya dari batoknya, tanpa sedotan. Daging kelapa bisa diambil pakai sendok.
Sesederhana itu untuk tidak menghasilkan sampah. Tinggal mau, atau tidak. ***
you are rock man.
ReplyDelete