Monday, August 1, 2016

Kemping Nol Sampah : Danau Buyan


Danau Buyan. 
Empat hari sebelum memasuki bulan puasa, awal Juni 2016 lalu, saya menyambangi Bali. Nggak berencana liburan kesana sebelumnya sih, tapi setelah berjanji untuk menyempatkan ketemu dengan Monica (IG : @girlforacleanworld) akhirnya dijadwalkanlah kami bertemu di Bali awal Juni.

Pertemuan kami di kota dengan semerbak dupa di tiap penjuru kota itu, ngga seperti liburan di Bali pada umumnya. Ngga panas-panasan di pantai, atau sekedar pergi ke spot-spot fenomenal di Bali. Kami bertiga bertemu untuk pertama kali, dengan kemping bersama di Danau Buyan, daerah Bedugul, Bali. Lokasinya yang berada di ketinggian dan cuaca sejuk bersemilir udara dingin, membuat saya merasa tidak berada di Bali.

Sebelum berangkat ke Bali, Saya sudah membekali diri dengan beras, telur asin, dan senjata perbumbuan andalan : gula, garam, merica, dan bawang-bawangan. Perbekalan ini saya bawa dari rumah, supaya ngga ribet mencari yang non kemasan di bali. Kemudian untuk perbekalan makanan lainnya, kami beli di Bali.


Belanja sayuran di pasar dekat Danau Buyan, Bali.
Kebetulan kedua teman saya ini, Monica dan Fernando adalah vegetarian, jadi semua perbekalan  yang kami beli di pasar untuk dimasak semuanya harus sayuran. Kami beli tauge, bahan sop, buncis, jagung, hingga tomat di pasar tradisional yang berada tepat tidak jauh dari Danau Buyan.

Kami juga beli buah-buahan untuk camilan mulai dari jeruk bali, pisang, dan manggis kesukaan Monica.

Belanja di pasar tradisional, adalah salah satu cara terbaik untuk membantu ekonomi lokal saat travelling. Gak harus melulu soal beli oleh-oleh kan. Yang penting, membeli sesuatu dari warga lokal. Karena traveling bukan cuma soal apakah kita bersenang-bersenang, namun juga apakah kedatangan kita membantu ekonomi warga sekitar yang kita datangi.

Monica,  beli gorengan pakai wadah sendiri.
Selain itu, belanja di pasar juga jadi pilihan terbaik untuk menemukan bahan makanan tanpa kemasan, yang tentunya didominasi sayur-sayuran. Di pasar ini, kedua teman saya juga tertarik untuk mencicipi gorengan sejenis misro (kalau di sunda) - ntah apa disebutnya kalau di bali. Dan tentunya kami membelinya dengan wadah sendiri  ;). No need plastic bag.

Kembali ke Danau Buyan, danau ini sebenarnya istimewa dengan pemandangan khas kawasan hutan dan danaunya. Sayangnya kondisinya tidak jauh seperti kawasan wisata alam lainnya di Indonesia.. sampah berserakan di berbagai titik karena ditinggalkan pengunjung sebelumnya.

Saya sedih ngeliat kondisi sampah yang ada, tapi merasa lebih khawatir lagi kalau kedua temenku itu merasa kecewa. Karena perjalanan ke danau Buyan pake motor sewaan di Bali lumayan jauh, ditambah sedikit nyasar-nyasar jadi lumayan lebih lama, sekitar 3 jam dari Denpasar. Sudah jauh-jauh, tapi disambut dengan campsite yang berserakan sampah.

Tapi untungnya, mereka gak merasa kecewa. Mereka memang teman yang mengasyikan. sejak awal kami memang sefrekuensi karena sama-sama menjalani proses gaya hidup zero waste. Monica dan Fernando bahkan travelling selama enam bulan terakhir ini tanpa memproduksi sampah.

Jadi ketika kami bertemu di satu tempat kemping yang berserakan sampah, yang terjadi adalah bukan saling mengutuk pembuat kotor tersebut, tapi kami sama-sama memungut sampah di sekitar area kami mendirikan tenda. Sambil ngobrolin tentang betapa menyenangkannya jika semua orang yang datang ke tempat wisata alam juga bisa melakukan hal yang sama dengan kami,, tidak memproduksi sampah.

Morning  from Danau Buyan
Di San Fransisco, daerah asal keduanya tinggal, juga ternyata kondisi kawasan wisata alamnya ngga jauh berbeda. Di sejumlah tempat wisata bisa ditemui serakan sampah dari pengunjung yang tak bertanggung jawab. "Tidak hanya di Indonesia kok. Tapi memang kondisi sampah terparah yang pernah saya lihat adalah di Asia, tepatnya di filipina," Kata Fernando.

Ahh,, sampah memang permasalahan global, terjadi di semua tempat. Ada daerah yang bisa menanganinya dengan manajemen sampah yang baik, ada juga yang kacau balau dunia persampahannya karena gak punya sistem pengelolaan sampah yang baik. Dan ngomongin masalah itu ngga akan ada habisnya, karena ujung-ujungnya bisa kesel sendiri.

Karena itu saya semakin percaya, cara terbaik mengatasi permasalahan sampah adalah jangan memproduksinya. Kemping tanpa menghasilkan sampah (zero waste camp) juga bahkan sangat jauh lebih mudah dibandingkan saat melakukan pendakian tanpa menghasilkan sampah. Karena saat kemping, kita hanya stay di satu tempat dan tidak melakukan flying camp.

Selama dua hari di Danau Buyan, kami tidak menghasilkan sampah sama sekali. Makanan yang kami makan semuanya adalah sayuran, dan juga buah-buahan yang jelas tidak menghasilkan sampah plastik. Sisa potongan sayur kami kubur di semak-semak yang tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Cemilan yang kami makan juga gak mempersulit  kemping nol sampah, karena cemilan yang kami bawa hanya buah-buahan.

Sisa  potongan sayur setengah terkubur.

Perbekalan selama kemping di Danau Buyan

Yang mana sarapan dan makan siang  ?

Selama kemping dua hari, kami berbagi banyak cerita. Saya sih paling seneng denger cerita perjalanannya selama di Indonesia yang seru, karena ternyata gak semulus yang dibayangkan.  Ada beberapa momen dimana dia terpaksa beli makanan berkemasan, dan gimana dia akhirnya menemukan warteg yang sampe sekarang dijadiin tempat andalan untuk mereka makan. Bukan hanya karena harga yang murah, tapi karena di warteg dia bisa menemukan banyak variasi menu sayuran. Inget, dia vegetarian.

Sebelum akhirnya ketemu di Bali, sebenernya saya sempat bilang ingin banget ngajak dia kopdar sama temen-temen traveler di Indonesia. Tapi sayangnya karena Monica telat ngabarin kalau dia udah di Indonesia, dan juga waktu yang gak memungkinkan akhirnya rencana kopdar dibatalin, sampai akhirnya kami memutuskan bertemu berdua saja.

Satu hal yang saya takjub, sekaligus cukup saya sayangkan adalah Monica ga banyak berencana soal kelanjutan traveling tanpa menghasilkan sampahnya. Dia melakukan itu karena dia mau menikmatinya, gak lebih. Hanya sedikit media sosial yang dia gunakan untuk sharing pengalaman-pengalamannya selama traveling. Padahal saya yakin dia sebenernya bisa sharing lebih banyak lagi dari sekedar media sosial instagram. Dan sharing yang dia lakukan bisa sangat luar biasa dampaknya.

Bulan September 2016 ini perjalanannya akan berakhir di Thailand dan dia kembali ke San Diego. 










No comments:

Post a Comment