Saturday, July 15, 2023

Semangat Rewear Culture , Makna Kaos Chris Martin di Setiap Konser Coldplay


sumber foto: Getty Image


BARU-baru ini di Twitter berseliweran video Tik-Tok yang menampilkan gaya berpakaian mahasiswa akhir 2000an. Di video tersebut, terlihat akang-akang berkaos distro khas bandung, seorang mahasiswa dengan kemeja nyentrik dan suspender dengan gaya rambut The Changchuters, sampai pemuda-pemudi emo dengan poni menutupi mata dan kaos hitam-hitam.

Di antara banyak komentar netizen, mulai dari yang bilang kalau anak zaman sekarang lebih ‘banyak gaya’ ketimbang pendahulunya, sampai yang terus terang bilang kalau “udah semester 7 yang penting bajunya bersih”. Teman saya sendiri bahkan datang ke kelas pakai piyama.

Kalau dipikir-pikir, masa-masa kuliah, apalagi sekitar semester-semester akhir itu masa-masa paling masa bodoh soal penampilan pribadi (tentu saja tidak berlaku kalau ada gebetan di kelas atau dosen ganteng). Dulu rasanya saya jarang ada keinginan untuk gonta-ganti style setiap hari, biarpun saya dan sahabat saya masih tergolong super rajin thrifting baju di mal dekat kampus.

Rasanya jauh berbeda setelah saya lulus dan dituntut oleh dunia kerja untuk melakukan “self-branding”. Waktu sama-sama masih kerja, teman saya sering bilang penting untuk merombak penampilan mulai dari ujung kaki sampai kacamata. Sekarang, kebiasaan kami berdua bergeser dari sekedar mengoleksi blazer ke mencari tas yang “nggak branded-branded amat” tapi tidak menurunkan gengsi kalau ditenteng ke lunch dengan klien.


Sekarang, dorongan itu semakin kuat tatkala membuka Instagram dan melihat Reels orang jalan-jalan pakai dress yang lagi hits atau tas yang di-endorse oleh selebgram. Wah, semakin kalap kami berdua mengisi keranjang di e-commerce. 


Apapun alasannya, entah ekspresi diri ala mahasiswa emo tahun 2009 (yang terlahir kembali dengan lebih apik di Citayam Fashion Week) atau terbawa semangat Nasionalis karena postingan Dian Sastro dan koleksi kebayanya, keinginan untuk mencoba style fashion yang berbeda-beda terus ada di diri semua orang. 


Yang jadi pertanyaan: Seberapa sering kita perlu gonta-ganti style? Dan memangnya harus?


“Seberapa sering” tentunya kembali ke diri masing-masing. Harus atau tidak ya tergantung waktu dan tempat. Belanja ke supermarket cukup pakai celana panjang dan kaos yang itu lagi-itu lagi. Effort-nya tidak perlu se-”wow” waktu pergi ke konser.


Ternyata ada selebriti yang memanfaatkan gaya low-effort ini. Untuk world tour, lagi!


Chris Martin, penyanyi band Inggris Coldplay, membuat fashion statement saat mempromosikan album A Head Full of Dreams. Dilansir dari GQ dan artikel online lainnya, Chris selalu tampil memakai kaos warna ungu atau biru langit beraksen tie-dye warna-warni, manset putih dan jeans hitam yang bagian pinggirnya dihias dengan peniti besar dan rantai. Chris juga kadang terlihat menambahkan jaket hitam dengan aksen tie-dye biru dan pink pucat.


Ternyata gaya serba tie-dye ada maknanya menurut stylist Coldplay Beth Fenton. “Saya dan Coldplay berkolaborasi untuk menyusun koleksi pakaian yang berhubungan dengan tema tur dan album,” ujarnya dalam artikel footwearnews.


sumber foto: Getty Image


Semangat Pakai Ulang (re-wear)


Elle menilai kaos Chris serasi dengan gambar album A Head Full of Dreams yang menampilkan kaleidoskop berwarna pelangi.


Selain baju, Chris juga unjuk gaya dengan sepatu Jordan Spizike yang didesain oleh anaknya, Moses. Kombinasi warna yang berani seperti biru langit dengan oranye atau hitam dengan fuschia, oranye dan hijau dongker mencerminkan semangat A Head Full of Dreams.


Sepanjang tur, promosi album dan bahkan konser amal Pangeran Harry, Chris Martin tampil pede dengan perpaduan andalannya. Guyon GQ dalam artikelnya: “Chris sepertinya menemukan cara yang efektif untuk meringankan berat bagasi dan stres harus pakai apa setiap hari. Solusinya: ya pakai yang itu-itu saja!”


Semangat pakai ulang Chris naik tingkat saat mempromosikan album terbaru Coldplay, Music of the Spheres. Sekarang, semua salfok dengan sepatu hitam Chris yang dihiasi aksen biru, kuning neon, oranye, ungu dan fuschia. Di acara TV Prancis Quotidien, Chris mengungkapkan bahwa sepatunya dibuat menggunakan bahan dari 70 pasang sepatu bekas yang diambil dari tempat sampah.


sumber foto: TMC


Selain sepatu, tampaknya Chris sudah siap dengan versi terbaru dari kaos tie-dyenya. Menyesuaikan dengan latar belakang album cover Music of the Spheres yang berwarna ungu gelap, Chris tampil gahar dengan tie-dye ungu kecoklatan dengan semburat warna oranye persis api atau tanah lengkap dengan celana jeans hitam yang kali ini mengikuti nuansa kuning kehijauan sepatu daur ulang Chris.


Kira-kira, kaos kombinasi tie-dye yang mana yang akan digunakan Chris saat konser Coldplay di Jakarta November ini ya?


(Penulis: Pradna Aqmaril Paramitha)


No comments:

Post a Comment