*Tulisan ini dimuat di kolom Backpacker Pikiran Rakyat, Edisi Minggu 1 Juni 2014
Hikayat Napoleon Di
Puncak Gunung Tambora
Delapan belas
Juni 1815, hujan mengguyur Waterloo, Belgia. Tanah tak kunjung mengering.
Rencana penyerangan Perancis terhadap pasukan aliansi Inggris berantakan.
Langkah para prajurit Perancis di medan tempur Waterloo semakin sulit. Tanah
berubah menjadi lumpur yang menghisap kaki prajurit dan roda meriam artileri
mereka.
Pada Palagan
Waterlo tersebut, mimpi Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte menguasai dan menyapu
habis daratan Eropa kandas. Panglima perang yang piawai meracik strategi
tersebut seolah menjadi prajurit amatir. Ya, kesalahan fatal yang dilakukkannya
adalah memprediksi cuaca. Mestinya, bulan itu, Eropa telah memasuki musim
panas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hujan besar membuyarkan strategi
dan taktik sang kaisar mengalahkan Duke Wellington, pimpinan pasukan aliansi
Inggris saat itu.
Alih – alih
menyerang, pasukan Inggris dan sekutunya akhirnya berhasil mengalahkan Prancis
di Waterloo. Sejak peristiwa itu, ambisi membangun imperium Eropa di bawah
kepemimpinan Napoleon berakhir. Nasib sang kaisar pun berujung tragis, dibuang
hingga menghembuskan napas terakhirnya.
Ihwal kekalahan
Napoleon menjadi tanda tanya pada masa itu. Jawabannya mulai terkuak setelah Eropa
dan Amerika Utara mengalami perubahan
musim ekstrem yang berujung berbagai bencana kemanusiaan pada 1816. Saat itu
dikenal juga sebagai tahun tanpa musim panas. Rupanya, perkiraan penyebab
perubahan musim tersebut mulai mengarah pada letusan Gunung Tambora, 10 April
1815. Bumi Sumbawa luluh lantak saat, puluhan ribu korban jiwa berjatuhan.
Beberapa perkampungan di kaki Tambora pun lenyap terkubur material letusan.
Amuk Tambora
tersebut juga diperkirakan berandil besar terhadap kekalahan Napoleon di
Waterloo. Material letusan berupa abu menyebar ke penjuru dunia. Akibatnya,
serangan Napoleon gagal karena perubahan cuaca yang disebabkan sebaran abu
tersebut. Hikayat itu diabadikan dalam sebuah prasasti yang berdiri tepat di
sampng Gerbang Pendakian Tambora, Desa Pancasila, Kabupaten Dompu, Nusa
Tenggara Barat.
Cerita itu
menerbitkan rasa penasaran tersendiri saat Tim Ekpedisi Nol Sampah Pikiran
Rakyat menjejakan kaki di Bumi Sumbawa akhir April 2014. Tekad kuat terpancang
guna melihat kaldera Tambora yang menjadi bukti letusan dahsyat ratusan tahun
lalu itu. Selepas beristirahat di base camp Kelompok Pencinta Alam Tambora
(K-PTA), sekitar pukul 09.30 WITA, kami mulai mengayunkan langkah. Deretan
pepohonan dan semak belukar mulai menyambut. Tak terlihat papan penunjuk yang
mengarahkan kami ke jalur pendakian. Jalan pun bercabang – cabang. Untungnya,
kami bersama rombongan pendaki asal Lombok yang tahu jalur pendakian.
Butuh waktu
empat jam hingga tiba di pos pertama. Di sana, terdapat sumber mata air yang
biasa digunakan para pendaki. Perjalanan di lanjutkan saat matahari semakin
beranjak ke barat. Rapatnya semak belukar serta pohon – pohon yang tumbang
menyulitkan perjalanan kami. Hutan Tambora memang terbilang lebat. Rapatnya
pepohonan dan semak terkadang membuat perjalanan seakan dilakukan malam hari.
Cahaya matahari tak mampu menembus rapatnya rimba Tambora. Namun, ancaman
sebenarnya bukan di sana. Pekikan seorang teman menyadarkan kami, ancaman
sebenarnya berada di kaki. Ya, makhluk kecil bernama pacet menggeliat di
beberapa kaki kami.
Sejak itu, hal
pertama yang dilakukan saat beristirahat adalah memeriksa kaki. Setelah sekitar
10 menempuh perjalanan, kami pun sampai di pos tiga. Malam telah cukup larut,
beberapa rombongan pendaki lain telah mendirikan tenda. Ada pula yang memilih
tidur di selter. Pukul 03.30 WITA, dini hari, kami terbangun. Seorang teman
pendaki tak bisa muncak karena sakit. Oleh karena itu, teman lainnya memutuskan
untuk menunggunya di pos tiga.
Akhirnya, hanya
kami berdua dari rombongan Tim Ekspedisi Nol Sampah yang melakukan summit attack. Dengan langkah perlahan,
kami menyibak kegelapan belantara Tambora. Pohon – pohon menjulang mengapit
jalur pendakian yang mulai menanjak. Pos empat dan lima pun terlalui. Namun,
matahari terlalu cepat menyembul kembali. Barangkali karena langkah kami yang
terlalu lambat. Medan menanjak selepas pos lima memang menguras stamina. “Tanjakan
Penyesalan” kata seorang porter atau pemandu lokal menyebutkan lokasi itu. Tak
berlebihan memang, napas kami hampir putus dengan langkah kaki yang semakin
berat.
Apa yang kami
kira akhir tanjakan, justru kelanjutan dari tanjakan selanjutnya. Peluh terus
mengucur, tetapi semangat tak kunjung padam guna menggapai puncak yang sempat
mengguncang dunia tersebut. Medan pendakian kini berubah menjadi bukit – bukit
berpasir yang minim pepohonan. Satu persatu punggungan bukit kami lewati.
Namun, puncak itu masih jauh di sana. Lagi, kaki kembali melangkah. Nun jauh di
belakang kami, pemandangan laut biru Teluk Saleh terbentang. Setelah sekitar
lima jam mendaki, kami akhirnya menapaki bibir kaldera Tambora. Takjub rasanya melihat kaldera yang sangat luas menganga di
depan mata kami.
Kepulan belerang
terlihat di bawah kaldera menandakan gunung ini masih aktif. Luas, dalam dan
sunyi. Diameter kawah mencapai 7 kilometer dengan keliling 16 km. Kedalamannya
mencapai 800 meter Pikiran kami berkecamuk, barangkali masing – masing mencoba
merekonstruksi terbentuk kaldera maha luas tersebut. Bibir kawah begitu rapuh.
Sisa longsor terlihat di sana. Begitu pula dengan tanah di sekitar kaldera yang
ambles di beberapa tempat. Langkah mesti ekstra hati – hati. Berjalan terlalu
menepi, dasar kawah siap menampung badan kami bila terjatuh. Begitu pun dengan
amblesan tanah mengintai setiap langkah.
Kibaran sang
saka merah putih terlihat jelas dari tepi kaldera. Ya, puncak kecil yang ikut
memagari salah satu kawah terbesar di dunia itulah tujuan kami. Pada sekitar
pukul 10.00 WITA, puncak Tambora berhasil kami gapai. Tak bisa menikmati
terbitnya matahari tak membuat kami kecewa. Di bawah bendera merah putih yang
berkibar di puncak Tambora, kami sekali lagi menikmati suguhan kawah luas
tersebut. Kabut seperti tak mau menutup permukaan kaldera. Padahal sedari tadi,
kabut mengepung puncak Tambora. Ah, kawan, rasanya tak cukup kata – kata kami
mewakili keindahannya. Sesudah membaca, segeralah berkemasmendaki gunung
tersebut. (Bambang Arifianto/”PR”)***
Sports Betting - Mapyro
ReplyDeleteBet gri-go.com the moneyline from 1:25 PM to kadangpintar 11:00 PM. See novcasino more. https://octcasino.com/ MapYO Sportsbook features live odds, live streaming, 출장샵 and detailed information.