Foto: Dokumentasi pribadi / www.zerowasteadventures.com |
BEBERAPA waktu terakhir ini sedih sekali melihat banyaknya berita pendaki yang mengalami kejadian membahayakan saat melakukan pendakian tektok.
Kasus Naomi Daviola misalnya yang tersesat 3 hari saat ikut pendakian tektok di Gunung Slamet (alhamdulillah sudah ditemukan). Atau kasus Akram yang hipotermia dan kelaparan ditinggalkan timnya saat mendaki tektok Gunung Bawakaraeng (alhamdulilah sudah di-rescue).
Dua contoh kecil, dari banyak lainnya kejadian di dunia pendakian. Belum lagi jika membahas kejadian kecelakaan seperti jatuhnya pendaki di jalur pendakian Gunung Rinjani yang dalam bulan Oktober ini saja terjadi dua kali, dimana satu meninggal dunia.
Fenomena tektok yang malah berujung bahaya ini begitu meresahkan. Kejadian ditinggalkannya pendaki hingga tersesat, hipotermia dan kelaparan menjadi gambaran menyedihkan bahwa mendaki tektok dimaknai hanya sekadar kegiatan mendaki tanpa berkemah (camp), dan peralatan yang dibawa tidak banyak jadi terlihat lebih mudah dan menggiurkan untuk dicoba.
Managemen Waktu
Yang dilupakan dan disepelekan, mendaki tektok sebenarnya membutuhkan manajemen waktu pendakian yang sangat ketat. Pendaki harus memiliki kemampuan berjalan atau bahkan berlari yang lebih cepat daripada pendakian konvensional, karena durasi pendakian tidak boleh terlalu lama. Hal ini mengingat perbekalan dan peralatan yang dibawa pun minim.
Manajemen waktu ini melibatkan kemampuan fisik yang perlu dilatih agar bisa mencapai catatan waktu lebih cepat. Selain itu juga diperlukan sikap bijak memahami kenapa targetan waktu mesti dicapai dan menetapkan batasan overtime (batas waktu harus segera turun bahkan jika belum sampai di puncak), kemampuan navigasi, manajemen perbekalan, dan skill mendaki lainnya.
Berkaca dari kasus pendakian Naomi Daviola misalnya, jika meliat kronologi pendakian, Naomi dan tim berangkat Sabtu malam pukul 23.45 melalui jalur Bambangan, dan sampai di puncak Gunung Slamet pukul 12.00 siang keesokan harinya. Artinya butuh waktu sekitar 12 jam untuk sampai di puncak.
Normal pendakian konvensional (membawa peralatan dan camp), pendakian Gunung Slamet melalui jalur Bambangan memakan waktu 8-10 jam. Pendakian tektok seharusnya lebih cepat dari itu, atau di bawah durasi 10 jam. Namun sebaliknya, tim pendakian tektok Naomi memakan waktu 12 jam.
Banyak kemungkinan yang terjadi kenapa perjalanan bisa mencapai 12 jam. Salah satunya kemungkinan istirahat yang terlalu panjang. Hal ini bisa dipengaruhi karena mereka berangkat tengah malam dan kurang istirahat.
Dalam pendakian tektok, durasi istirahat pun bahkan seharusnya diperhitungkan. Karena lagi-lagi, untuk mengejar targetan waktu maka tidak bisa berlama-lama untuk beristirahat seperti pada pendakian konvensional umumnya. Selain itu, durasi saat di puncak pun harus sesingkat mungkin untuk kemudian mengejar kembali perjalanan turun secepat mungkin.
Menyadari Kemampuan Diri
Jika merasa pace mendaki kita masih terlalu pelan dan belum bisa menyamai targetan durasi ideal pendakian gunung tertentu, jangan malu untuk menyadari kemampuan diri. Memahami kemampuan fisik diri sendiri sangat penting untuk meminimalisir resiko dari kegiatan pendakian gunung yang mengandung dan mengundang bahaya.
Jika baru memulai mencoba pendakian tektok, harus dimulai dari medan yang tidak terlalu sulit dan juga mdpl yang tidak terlalu tinggi (jangan langsung mendaki tektok gunung dengan ketinggian di atas 3.000an mdpl).
Latih fisik kita dengan mendaki di gunung-gunung atau bukit dengan ketinggian di bawah 2.000 mdpl. tingkatkan durasi maksimal mendaki di setiap latihan, sebelum kemudian menjajal gunung dengan medan yang lebih tinggi.
Sedikit cerita waktu saya mendaki tektok 3 bukit dari jajaran seven summit sembalun, Juli 2024 lalu. Saya hanya punya waktu tiga hari untuk menjajal 6 bukit yang ada.
Jika dipaksakan, sebetulnya sangat bisa per harinya untuk mendaki dua bukit.. Tapi saya memilih 'nggak deh, satu bukit aja per hari,'. Sebuah keputusan yang diambil setelah menjajal satu bukit pertama. Jadi selama tiga hari, akhirnya hanya berhasil mendaki 3 bukit (Kondo, Anak Dara, dan Pergasingan).
Keenam bukit di seven summit sembalun (kecuali Rinjani), tingginya tidak lebih dari 2.300an mdpl. Jadi memang sangat memungkinkan untuk didaki tektok. Tapi saya merasa tidak enjoy saat itu jika harus memaksakan dua bukit dalam satu hari. Pertama, karena cuaca perbukitan di Sembalun di atas jam 10 pagi itu selalu tertutup kabut, jadi tidak ada view yang terlihat jika mendaki terlalu siang.
Kedua, karena ada kemungkinan saat turun bukit yang kedua akan kemalaman. Jadi bagi saya, mendaki hanya satu bukit per hari adalah keputusan terbaik.
Dengan hanya mendaki satu bukit per hari, setiap jam makan siang kami sudah kembali di basecamp. Targetan waktu saya selama mendaki Bukit Kondo, Anak Dara, dan Pergasingan adalah makan siang di bawah. Harus patuh dengan targetan waktu itu, karena memang tidak membawa makanan berat (nasi).
Kalau saya tidak disiplin dengan targetan waktu tersebut, yang terjadi adalah kelaparan di jam makan siang. Yang pengaruhnya akan sangat berbahaya seperti pusing, lemas, ditambah cuaca yang panas terik di siang hari bukan tidak mungkin pingsan misalnya.
Manajemen peralatan dan perbekalan
TAPIIII, meski gak bawa makanan berat, perbekalan snack tetap diperhitungkan. Buah-buahan dan snack selalu bawa lebih (untuk cadangan) dan yang pasti AIR YANG CUKUP.
Pernah seorang teman cerita, ada kawannya yang senang mendaki ultralight, dia selalu bawa perbekalan air sedikit. Sehingga jarang minum.
Cerita lainnya, saya mengalami sendiri, waktu mendaki Gunung Sumbing. Saat itu saya mendaki 3 hari 2 malam. Di hari kedua, saat di camp, saya bertemu rombongan pendaki tektok yang start naik dini hari dan tiba di area camp saya di pos 3 sekitar pagi hari. Mereka kehabisan minum, lalu meminta air saya, yang kemudian saya tolak karena air saya adalah stok untuk tim kami sampai besok hari.
"Air saya tinggal segini mba," ujarnya marah. Sambil menunjukkan botol minumnya yang tidak sampai ukuran 1 liter. Apa yang ada di pikirannya memutuskan mendaki tektok Gunung Sumbing dengan perbekalan air minim, di musim kemarau pula. Apakah mendaki tektok bermakna mengandalkan pendaki lain yang ditemui di tengah jalan saja?
Selain makanan dan air yang mesti diperhitungkan dengan seksama, hal lain yang selalu saya bawa meski mendaki tektok adalah jas hujan/payung, kompor dan teko air, dan juga wajib bawa termos air panas. Untuk kondisi gunung tertentu, kadang saya juga membawa flysheet, untuk berjaga-jaga membuat tempat berteduh.
Kalau dalam satu tim mendaki tektok semuanya tidak ada yang bawa barang-barang itu,,, saya adalah orang yang pasti membawa peralatan itu. Karena kita ga pernah tau apa yang terjadi di atas.
Selain semua hal di atas, kemampuan navigasi juga sangat penting untuk dimiliki sebelum kita memutuskan untuk berani melakukan pendakian tektok.
Trail Running
Memahami fenomena pendakian tektok, juga tidak terlepas dari marak dan berkembangnya olahraga trail running.di Indonesia. Trail running adalah kegiatan berlari di alam terbuka seperti pegunungan dan perbukitan.
Dilansir dari laman Trailrunners.run , pertama kali dalam sejarah tercatat adanya sejumlah orang yang berlari di gunung dalam konteks kompetisi adalah pada tahun 1040 di Skotlandia.
Saat ini terdapat banyak perlombaan trail running dengan prestis tinggi di berbagai belahan dunia. Di antaranya Ultra Trail du Mount Blanc (UTMB), Ultra Trail Mount Fuji, Barkley Marathon. Di Indonesia, juga banyak kompetisi trail running seperti Coast to Coast Night Ultra, BTR Ultra Bali, hingga Rinjani 100 Marvelous Trail.
Trail running dilakukan para pelari berpengalaman, karena jarak perlombaan yang bervariasi dan juga medan yang ekstrim.
Ingat kata kuncinya, berpengalaman. Baik pendakian konvensional dan mendaki tektok, maupun trail running sama-sama membutuhkan persiapan dan latihan yang serius. Jikapun baru memulai mencoba aktivitas trail running ataupun mendaki tektok, pastikan kamu ditemani dengan orang yang berpengalaman dan mendampingi sepanjang perjalanan.***
No comments:
Post a Comment