Monday, March 2, 2020

TPA Leuwigajah: Sampah dan Trauma Warga Kampung Adat Cireundeu

Kondisi Eks TPA Leuwigajah, Jumat, 21 Februari 2020.


BAU menyengat tercium dalam setiap detik helaan napas. Di musim kemarau, bau menyengat semakin meriah dengan kehadiran begitu banyaknya lalat, yang jumlahnya tak mampu dinarasikan dalam untaian kata.

Belum lagi, teriknya kemarau membakar sampah yang asapnya pun mengganggu pernapasan. Tak lebih baik dari masalah bau menyengat.

"Saat itu kami hidup di tempat yang tidak pernah bisa terbayangkan," ujar Yana.


Yana adalah seorang warga Kampung Adat Cireundeu, Jumat, 21 Februari 2020. Tepat pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, 15 tahun pascaledakan TPA Leuwigajah.

Traumatis. Begitulah Yana menggambarkan bagaimana hidup berdampingan dengan tempat pembuangan sampah akhir selama 22 tahun. Dua paragraf pertama tulisan ini adalah kondisi yang dirasakan warga selama TPA Leuwigajah beroperasi.

Namun, bahkan setelah TPA Leuwigajah ditutup, perasaan trauma tidak lantas berakhir. 15 tahun setelah TPA leuwigajah ditutup, lahan bekas TPA tetap tidak bisa digunakan.

Tahun 2005 silam, TPA leuwigajah meledak dan longsoran sampahnya menyebabkan ratusan warga meninggal dunia. Tragedi kemanusiaan tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) setiap tanggal 21 Februari.


Seorang warga Kampung Adat Cireundeu berdiri di kawasan eks-TPA Leuwigajah.

15 tahun pascaledakan, kawasan bekas TPA leuwigajah memang tidak lagi berbau menyengat. Pun tidak terlihat tumpukan sampah yang menggunung. Rerumputan dan berbagai jenis tanaman perdu lainnya terlihat menghampar seluas kawasan tersebut.

Namun, tidak bisa diabaikan bahwa bagian bawah rumput yang menghampar luas tersebut tetap gundukan sampah menahun yang tersisa dari ledakan TPA Leuwigajah.

Rumput yang tumbuh di atas tumpukan sampah, adalah fakta tak terbantahkan bahwa alam memang mampu memulihkan dirinya sendiri. Namun tentu butuh waktu yang tidak sebentar bagi alam untuk mensterilkan kawasan yang dipenuhi sampah plastik.

Warga Kampung Adat Cireundeu juga menyadari kawasan tersebut belum bisa dimanfaatkan untuk berkebun atau bertani, ditandai dengan fakta bahwa belum ada tanaman berbatang keras atau pohon besar yang mampu tumbuh disana. Eks TPA Leuwigajah hanya ditumbuhi rerumputan dan perdu lainnya.

Dulu, sebagian kawasan tersebut adalah hutan dimana berbagai pohon dapat tumbuh, termasuk pohon-pohon yang sering dimanfaatkan warga seperti bambu dan kelapa.

Mata air


Sejak awal, penggunaan lahan sebagai tempat pembuangan sampah sangat bertentangan dengan sistem pemetaan lokal yang dimiliki warga Kampung Adat Cireundeu. Sistem pemetaan yang dimaksud adalah untuk penggunaan kawasan dan pemanfaatan alam berdasarkan kearifan lokal warga Kampung Adat Cireundeu.

"Sejak awal kami sudah mengingatkan soal ini. (tempat pembuangan akhir) sangat bertentangan dengan filosofi adat kami. Gunung kaian, gawir awian, lebak caian," kata Yana.

Kerugian besar lainnya dari TPA Leuwigajah adalah tertutupnya mata air oleh tumpukan sampah sehingga tidak dapat digunakan warga hingga saat ini. "Di bawah (tumpukan) TPA itu sumber mata air, karunia ilahi, tapi kita lupa merawatnya," ujar Yana lirih.

Kang Entis, warga Desa Adat Cireundeu lainnya memperlihatkan foto titik mata air yang rusak karena TPA. Dulu, saat kawasan tersebut masih berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah, air yang mengalir dari sumber mata air tersebut berwarna hitam tanda tercemar.

"Ayeuna tos rada herang. Tapi teu acan tiasa dikonsumsi (sekarang sudah agak jernih. Tapi tetap belum bisa diminum)," kata Kang Entis.

Butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar limbah dalam sumber mata air tersebut. Namun secara logika sederhana saja, siapa yang mau mengonsumsi air yang sumbernya dipenuhi dengan sampah menahun.

Selain itu, jika airnya saja sudah terkontaminasi limbah, bagaimana dengan tumbuhan yang tumbuh di atas lahan bersimbah sampah.

Yana menyebut, jika warga Kampung Adat Cireundeu meminta kompensasi pada pemerintah atas kerugian yang mereka alami, tidak terbayang akan sangat luar biasa nominal yang harus diberikan pemerintah. Namun, berapa pun nominalnya, tidak akan pernah setimpal untuk mengembalikan kerugian yang telah direnggut dari warga dan alam.

Tempat pembuangan akhir rupanya tak pernah menjadi solusi, karena hanya menyebabkan permasalahan lainnya yang jauh lebih traumatis.

"Masa lalu biarlah cermin, pengetahuan untuk jalan keluar kedepan," ujar Yana, yang berharap lahan eks TPA Leuwigajah dapat dikembalikan ke fungsi awalnya. Hutan.

Harapan yang realisasinya masih akan terus menempuh jalan perjuangan yang panjang dan berliku.***

No comments:

Post a Comment